Selasa, 23 Maret 2010

pre wedding menjadi momok.....


[Bahtsul Masa-il]
Kerangka Analisis Masalahhttp://emo.huhiho.com
Pembuatan foto pre wedding (foto sebelum pernikahan-red) seakan-akan menjadi suatu keharusan bagi calon mempelai. Keunikan dan keindahan foto pre-wedding akan menghiasi kartu undangan atau souvenir pernikahan. Terlebih, foto itu dibuat dengan konsep yang unik dan dengan background yang menarik. Hal ini tentunya akan menjadi suatu sensasi tersendiri.

Pertanyaan:
Bagaimana hukum membuat foto pre wedding?

Jawaban:

Karena proses pembuatan foto melibatkan kedua calon mempelai dan fotografer, maka ditafshil (diperinci);
a.Bagi calon mempelai, hukumnya haram jika terdapat; ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), kholwat (berduaan) dan kasyful aurat (membuka aurat).
b.Bagi fotografer, hukumnya tidak boleh karena hal itu menunjukkan sikap rela dengan kemaksiatan.

Catatan:
Jawaban di atas hanya berlaku bila pembuatan foto tersebut dilakukan pra-akad nikah, tidak ada rekayasa sama sekali dan tidak ada dzan (asumsi) atau keyakinan munculnya penilaian negatif masyarakat.

Referensi
1.Hasyiyyah Al-Jamal vol. IV hal. 125
2.Is’adurrafiq vol. II hal. 67
3.I’anah Al-Tholibin vol. I hlm. 272
4.Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab vol. IV hlm.484
5.Bughyah Al-Mustarsyidin hlm. 199-200
6.Is’ad Al-Rofiq vol. II hlm. 50
7.Adab Al-Alim wa Al-Muta’allim hlm. 59-60
8.Bughyah Al-Mustarsyidin hlm. 126


Beberapa tahun terakhir, persisnya sejak pelaksanaan FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) ke-XI tanggal 20-21 Mei 2009 di PP. Putri Hidayatul Mubtadi’at Lirboyo Kota Kediri, yang menyoal seputar hukum keintiman hubungan lawan jenis via HP, internet dan situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, Chatting dll., media massa kita digemparkan dengan pemberitaan —yang kemudian dibahasakan oleh media dengan— “fatwa haram” forum diskusi pondok pesantren se Jatim tersebut. Dan ketika pelaksanaan FMP3 ke-XII di PP. Putri Tahfizhil Qur’an Lirboyo Kota Kediri tanggal 13-14 Januari 2010, yang mengangkat tema-tema sosial keagamaan seperti trend gaya rambut rebonding, poto pre-wedding, gaji, royalty dan dilema peran aktris muslimah dalam dunia akting, wanita menekuni profesi tukang ojeg dll., pemberitaan “fatwa haram” itu kembali meledak heboh menjadi topik berita media massa nasional dan bahkan sempat menggeser perhatian masyarakat yang mulai muak menyaksikan “sinetron” misteri Bank Century yang entah sampai kapan episodenya akan berakhir itu.http://emo.huhiho.com

Kegemparan berita yang sebenarnya hanya hasil kesepakatan diskusi rutin pencarian jawaban hukum agama yang dilakukan santri-santri yang relatif masih muda itu, setidaknya karena tiga faktor penting yang saling mempengaruhinya. Faktor pembahasaan media dan pemberitaan yang kurang profesional, faktor mental keagamaan masyarakat kita yang awam dan faktor retorika penyampaian hukum yang tidak solutif dan “mengejutkan”.

Bahasa pemberitaan dengan memilih dan menggunakan diksi “fatwa haram” merupakan bahasa yang riskan mengundang kontroversi masyarakat, lebih-lebih bagi masyarakat dengan tingkat keagamaan awam. Awam dalam pengertian tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan agama yang memadai, atau awam dalam arti terdidik secara akademik namun tidak memiliki kepedulian dan apatis terhadap nilai-nilai keagamaan. Istilah “haram” bagi masyarakat pada tingkat keagamaan seperti ini, bukanlah suatu istilah hukum “berbahaya” yang harus dijauhi dari perilaku hidupnya, melainkan suatu istilah yang terdengar “tabu” atau bahkan “lucu” manakala dikaitkan dengan hal-hal yang telah umum dan lekat dengan perilaku kesehariaanya. Praktis kondisi keagamaan demikian menjadikan masyarakat kita samakin jauh dari bimbingan nilai-nilai normatif agama dalam perilaku dan gaya hidupnya, hingga pada gilirannya menjadi masyarakat yang “alergi dan anti haram”, di mana setiap fatwa hukum berlabel haram yang coba hendak disuarakan oleh pihak manapun, akan direspon dengan sikap apatis atau bahkan penolakan tanpa alasan dan dasar ilmiah.

Spektrum respon “kontroversi tidak sehat” seperti ini, betapa sangat mencerminkan seolah masyarakat kita seperti masyarakat mu’allaf yang masih asing dengan ajaran agama sendiri. Setiap hukum agama yang “mengusik” dan tidak mendukung terhadap kepentingan ekonomi, profesi atau perilakunya, ditolak dan enggan mengakui sebagai bagian dari agamanya. Pola pikir dan gaya hidup hedonis demikian inilah, agaknya jika belakangan kita bisa saksikan mulai dari penjual bakso di pinggir trotoar sampai mereka yang setiap hari berdasi di meja-meja diskusi begitu apatis, menolak secara apriori bahkan menghujat dengan sinis. Sampai-sampai mencuat sindiran yang cukup ironis: “label halal cari di MUI, label haram cari di FMP3”.

Pemberitaan media dengan bahasa “fatwa haram” akan semakin terdengar provokatif dan mengundang kontroversi penolakan sekala luas ketika tidak diimbangi dengan memberikan penjelasan detail pertimbangan-pertimbangan yang mendasari terrumuskannya sebuah hukum? Seperti senternya —saya lebih sreg menyebut— “kasus” fatwa haram Facebook tahun lalu, sejatinya lebih karena semangat pemberitaan media kita yang masih lebih mengarah pada menciptakan “larisnya berita” ketimbang semangat menjadi media massa profesional yang benar-benar berfungsi sebagai “media” yang memungkinkan tersampaikannya sebuah informasi transparan kepada “massa” itu sendiri. Karuan saja, diksi “fatwa haram Facebook” menjadi pilihan yang dengan serampangan dicomot begitu saja sebagai headline berita, tanpa per-imbang-an memadai yang mampu menjelaskan kepada masyarakat kapan, di mana, bagaimana dan seperti apa konteks serta porsi hukum haram Facebook itu. Keharaman hukum Facebook pun pada akhirnya diterima masyarakat dan terlanjur menjadi opini umum dengan sedemikian mutlaknya, dan sama sekali berbeda dari kenyataan hukum di forum yang sesungguhnya begitu terbatas hanya pada konteks dan porsi penggunaan Facebook tertentu.

Maka, apabila kemudian hasil bahtsul masa’il FMP3 ke-XI itu menjadi keputusan kontroversial dan menuai hujatan dari berbagai kalangan, sejatinya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa FMP3 hanya menjadi korban pemberitaan media massa yang kurang profesional. Dan realitas seperti itu kembali terulang dalam fenomena kontroversial saat FMP3 ke-XII mengkaji hukum trend gaya rambut rebonding, poto pre-wedding, wanita menekuni profesi tukang ojeg, gaji, royalty dan dilema peran aktris muslimah dalam dunia akting dll., di pertengahan Januari kemarin.

Kendati fenomena di atas satu sisi memberi kontribusi positif bagi forum diskusi ilmiah pondok pesantren, setidaknya kegiatan intelektual dan kajian hukum para santri menjadi kian dikenal masyarakat luas, namun fenomena kontroversial “fatwa haram” juga terlanjur melekatkan stigma negatif terhadap FMP3 khususnya dan pondok pesantren Jatim secara umum. Ragam penilaian negatif dan subyektif dari berbagai kalangan masyarakat yang dialamatkan kepada FMP3 dan pondok pensantren Jatim nyaris bertubi-tubi, meski sebenarnya semua cenderung subyektif dan kekanak-kanakan. Mulai komentar santri yang kaku dalam beragama, primitif, tidak memiliki kepekaan dan pertimbangan sosiologis, tidak mengerti dengan perkembangan tekhnologi, santri hanya peduli dengan masalah-masalah hukum dan acuh dengan masalah-masalah sosial lainnya, hingga tuduhan pengangkatan tema-tema dalam forum itu hanya untuk mencari sensasi dll.


Lepas dari faktor minimnya profesionalisme pemberitaan media, sebenarnya sangatlah naif jika stigma negatif itu harus dialamatkan kepada FMP3 dan pondok pesantren Jatim? Sebagai satu-satunya lembaga tafaqquh fid dien dengan aktifis yang memiliki basic intelektual dan keilmuan keagamaan memadai, serta memiliki kepedulian terhadap problematika keagamaan umat, bukankah sudah semestinya FMP3 dan pondok pesantren menjadi pihak yang paling absah membicarakan hukum-hukum sosial keagamaan dibanding lembaga pendidikan manapun? Dan bukankah nabi saw. telah mengajarkan:

لاَ تَخَفْ في اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ! قُلِ اَلْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّا

“Dalam (taat kepada) Allah, jangan gentar dengan hujatan para penghujat! Suarakan kebenaran itu, meskipun terasa pahit!”

Dan bukankah juga telah dinyatakan oleh Rasulullah saw.:

إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَإِنَّ الدِّينَ سَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Sungguh agama itu mula-mula dianggap aneh, dan sungguh agama itu akan kembali dianggap aneh seperti semula. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh.”

Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang paling absah membicarakan hukum Islam, memang tidak sepantasnya FMP3 dan pondok pesantren mendapat stigma negatif itu? Karena apapun yang telah dilakukan forum itu, bagaimanapun juga merupakan wujud perhatian dan kepedulian para santri terhadap masalah-masalah sosial seperti perilaku dan gaya hidup masyarakat agar senantiasa lurus dalam bimbingan nilai-nilai normatif agama. Jika ternyata perhatian dan kepedulian tersebut malah menjadi bumerang bagi FMP3 dan pondok pesantren berupa stigma negatif, mungkin ada yang salah dalam cara dan retorika penyampaian hukum oleh pihak FMP3 dan pondok pesantren itu sendiri, sehingga menimbulkan “keterkejutan” masyarakat yang tidak atau belum memiliki kesiapan secara mental-sosial keagamaan untuk menerima hukum yang diputuskan. Karena bagaimanapun, kesiapan secara mental-sosial ini sangat menentukan terhadap efektifitas sebuah hukum bisa diaplikasikan dalam amaliah masyarakat.

Terkait dengan retorika penyampaian hukum ini, adalah menjadi keniscayaan bagi FMP3 dan pondok pesantren untuk tidak sekedar menjatuhkan vonis haram dalam setiap forumnya atas perilaku masyarakat yang secara perspektif agama tidak bisa ditolerir, melainkan juga harus berusaha memberikan alasan-alasan rasional dan mendasar yang bisa dipahami dan dimengerti masyarakat luas? Sebagai contoh, ketika forum hendak mengharamkan rebonding, hendaknya jangan sekedar berdalih dan menggunakan alasan-alasan agama semata, tetapi juga didukung dengan alasan-alasan secara medis dimana kebiasaan melakukan rebonding dapat menyebabkan gangguan kesehatan (kanker) dan lain sebagainya. Dalam mengharamkan Facebook, didukung dengan memberikan alasan-alasan psikologis, seperti terlalu maniak dunia maya dapat mempengaruhi psikis seseorang dalam menghadapi tantangan dunia nyata, dll. Sehingga dengan alasan-alasan rasional seperti itu, masyarakat lebih bisa memahami dan mengerti yang pada akhirnya diharapkan akan bersedia menerima keputusan hukum. Retorika seperti itulah barangkali yang diperintahkan nabi saw. dalam sabdanya:

خَاطِبُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ

“Berbicaralah pada manusia sesuai dengan tingkat (pengetahuan) akalnya.”

Disamping itu, ketika fatwa haram menyangkut profesi atau ekonomi masyarakat, tentunya sangat tidak bijaksana jika hanya memvonis haram tanpa memberikan alternatif dan solusi? Fatwa haram akan lebih ideal dan bijak serta sangat memungkinkan tidak mengundang kontroversi dan penolakan, jika fatwa haram juga disertai solusi sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral? Seperti ketika hendak mengharamkan wanita menekuni profesi tukang ojeg, atau mengharamkan rebonding yang dapat memberi dampak ekonomi pada pemilik salon, semestinya fatwa haram juga disertai dengan alternatif konkrit yang bisa menjadi solusi bagi pihak-pihak terkait, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari hukum haram yang difatwakan.


Apabila alternatif dan solusi itu dirasa tidak memungkinkan, mengingat FMP3 dan pondok pesantren hanya bergerak dalam bidang hukum, usaha untuk memberi jalan keluar itu setidaknya bisa ditempuh dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya, atau bisa juga dengan mengupayakan melalui cara-cara cerdas lainnya.


Jika demikianlah faktanya, sementara stigma negatif terlanjur melekat —atau lebih tepatnya dilekatkan— kepada FMP3 dan pondok pesantren Jatim, lantas, siapa yang bersalah? Pemberitaan media yang tidak profesional, masyarakat yang awam dan apatis, atau justru FMP3 yang mengeluarkan fatwa hukum dengan retorika yang “mengejutkan”? Istafti qalbak! Wa AlLahu a’lam


http://emo.huhiho.com

2 komentar:

ariefborneo mengatakan...

Assalamkum met pagi kawan...

Mantap artikel na kawan...
Salam kenal aja d tunggu kunjungan balik na..thnxs

Salam blogger..!!

bang ian mengatakan...

walaikum salam.........syukron ma pujian na...
lam knal ugA... OK.

Posting Komentar

 

Browse

Read more: http://www.maspeypah.co.cc/2010/02/cara-menambah-back-to-top-pada-blog.html#ixzz0k8cHfCbE